Dinamika Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Sumber: www.p2hp.kkp.go.id |
Oleh:
Adil Mahfudz Firdaus
Menurut Suhana (2008), pengelolaan sumberdaya ikan perlu dilakukan dengan sistem kelembagaan yang kuat. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan sumberdaya ikan dapat berjalan secara berkelanjutan dan bertanggungjawab. Selain itu juga keberadaan sistem kelembagaan yang kuat diharapkan dapat berdampak terhadap menurunnya tingkat konflik antar nelayan dalam upaya memanfaatkan sumberdaya ikan. Kelompok masyarakat pesisir (khususnya nelayan dan petani ikan) memiliki sifat unit berkaitan dengan usaha yang dilakukannya, karena usaha perikanan sangat bergantung pada musim, harga, dan pasar (Kusumastanto, 2003). Oleh karena itu, kekhasan yang dimiliki masyarakat pesisir (nelayan) perlu ditunjang dengan kelembagaan yang kuat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi dan keberlanjutan sumberdaya perikanan yang ada. Beberapa contoh kelembagaan yang ada didaerah yaitu seperti panglima laot di Aceh, sasi di Maluku dan Papua, dan awig-awig didaerah timur Bali sampai Nusa Tenggara.
Kelembagaan merupakan suatu bentuk entitas infrastruktur yang mendasari atau membentuk struktur insentif dalam kegiatan pertukaran yang dilakukan manusia seperti kegiatan yang bersifat politik, sosial, dan ekonomi. Kelembagaan menjadi penting karena akan mencerminkan situasi dan kebutuhan rakyat (masyarakat), hal ini menimbang bahwa dalam masyarakat yang majemuk tentu akan banyak pemikiran dan kepentingan yang berbeda. Sumber daya alam selain memberikan dampak positif bagi kesejahteraan manusia, sumber daya alam juga dapat memberikan dampak negatif terhadap manusia. Konflik perebutan sumber daya alam, menjadi dampak negatif dari adanya sumber daya alam. Salah satu contoh adalah ketidakstabilan politik dan sosial yang merupakan gambaran negara-negara yang memiliki kandungan sumber daya alam seperti minyak dan gas alam yang besar. Kelembagaan yang kuat tentu diperlukan dalam penyelesaian konflik-konflik terkait dengan pengelolaan sumber daya alam.
Bentuk kelembagaan yang kuat juga perlu didorong dengan desain kebijakan yang tepat. Desain kebijakan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat daerah dan kawasan pesisir dan laut tersebut. Cakupan kebijakan kelautan Indonesia tersebut pada dasarnya harus meliputi aspek sosial budaya, pertahanan keamanan, dan ekonomi, serta ekologi. Konsep keterpaduan juga penting dalam penyusunan kebijakan kelautan Indonesia, yakni keterpaduan geografis, keterpaduan ekologis, keterpaduan antar stakeholders, keterpaduan antar sektor, dan keterpaduan antar ilmu pengetahuan. Menurut Kusumastanto (2012), kelautan sebagai bidang yang terdiri dari multisektor memerlukan sebuah kebijakan yang sinergis antar sektor ekonomi kelautan mengingat keterkaitan yang erat antar aktivitas baik didalam sektor maupun diluar sektor. Sektor-sektor tersebut antara lain adalah sektor perhubungan laut, sektor industri maritim, sektor perikanan, sektor wisata bahari, sektor energi dan sumberdaya mineral, dan sektor bangunan kelautan, serta jasa kelautan. Sinergitas sektor bidang kelautan sangat diperlukan sebagai penopang pembangunan ekonomi kelautan maupun nasional.
Daftar Pustaka
Kusumastanto T. 2012. Pengembangan Konsep Blue Economy dalam Kerangka Pembangungan Nasional Berkelanjutan. Makalah Seminar Nasional Blue Economy. Bogor (62): PKSPL-IPB.
Kelembagaan merupakan suatu bentuk entitas infrastruktur yang mendasari atau membentuk struktur insentif dalam kegiatan pertukaran yang dilakukan manusia seperti kegiatan yang bersifat politik, sosial, dan ekonomi. Kelembagaan menjadi penting karena akan mencerminkan situasi dan kebutuhan rakyat (masyarakat), hal ini menimbang bahwa dalam masyarakat yang majemuk tentu akan banyak pemikiran dan kepentingan yang berbeda. Sumber daya alam selain memberikan dampak positif bagi kesejahteraan manusia, sumber daya alam juga dapat memberikan dampak negatif terhadap manusia. Konflik perebutan sumber daya alam, menjadi dampak negatif dari adanya sumber daya alam. Salah satu contoh adalah ketidakstabilan politik dan sosial yang merupakan gambaran negara-negara yang memiliki kandungan sumber daya alam seperti minyak dan gas alam yang besar. Kelembagaan yang kuat tentu diperlukan dalam penyelesaian konflik-konflik terkait dengan pengelolaan sumber daya alam.
Bentuk kelembagaan yang kuat juga perlu didorong dengan desain kebijakan yang tepat. Desain kebijakan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat daerah dan kawasan pesisir dan laut tersebut. Cakupan kebijakan kelautan Indonesia tersebut pada dasarnya harus meliputi aspek sosial budaya, pertahanan keamanan, dan ekonomi, serta ekologi. Konsep keterpaduan juga penting dalam penyusunan kebijakan kelautan Indonesia, yakni keterpaduan geografis, keterpaduan ekologis, keterpaduan antar stakeholders, keterpaduan antar sektor, dan keterpaduan antar ilmu pengetahuan. Menurut Kusumastanto (2012), kelautan sebagai bidang yang terdiri dari multisektor memerlukan sebuah kebijakan yang sinergis antar sektor ekonomi kelautan mengingat keterkaitan yang erat antar aktivitas baik didalam sektor maupun diluar sektor. Sektor-sektor tersebut antara lain adalah sektor perhubungan laut, sektor industri maritim, sektor perikanan, sektor wisata bahari, sektor energi dan sumberdaya mineral, dan sektor bangunan kelautan, serta jasa kelautan. Sinergitas sektor bidang kelautan sangat diperlukan sebagai penopang pembangunan ekonomi kelautan maupun nasional.
Daftar Pustaka
Kusumastanto T. 2012. Pengembangan Konsep Blue Economy dalam Kerangka Pembangungan Nasional Berkelanjutan. Makalah Seminar Nasional Blue Economy. Bogor (62): PKSPL-IPB.
Kusumastanto T. 2003. Ocean Policy Dalam Membangun Negeri Bahari Di Era Otonomi Daerah. Jakarta (62): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Suhana. 2008. Analisis Ekonomi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi [Tesis]. Bogor (62) : Institut Pertanian Bogor.
Comments
Post a Comment